SPBU Tolak Tuntutan Baru Warga Terdampak Pencemaran

KEDIRI- SPBU Kresek, menolak beberapa tuntutan baru warga Lingkungan Kresek, Kelurahan Tempurejo, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, yang semula terdampak pencemaran kebocoran pipa SPBU, paska pemaparan hasil penelitian tim ITS Surabaya. “Hasil pertemuan dan pemaparan ITS, dari 13 sumur warga, 11 sumur sudah dinyatakan TPH nya 0 atau sudah tidak tercemar. Tinggal 3 sumur lagi yang masih ada kadar TPH di dalamnya. Maka SPBU menghentikan segala bentuk bantuan kepada  warga yang sumurnya sudah dinyatakan TPH nya 0 oleh ITS. Sedangkan untuk 3 warga yang sumurnya masih terdapat kandungan TPH, bantuan tetap diberikan seperti biasa,”ujar Eko Budiono SH, Kuasa Hukum SPBU Kresek, dalam rilis yang dikirimkan ke sejumlah media.

TOLAK TUNTUTAN BARU : Zakiyah Rahma SH, salah satu tim Kuasa Hukum SPBU dari kantor Pengacara Eko Budiono SH

Seperti diberitakan, ada 13 warga di Lingkungan Kresek, Kelurahan Tempurejo, yang semula terdampak pencemaran dugaan bocornya pipa SPBU Kresek. Usai temuan pencemaran itu, SPBU sempat ditutup sementara untuk pembenahan. Sedangkan pihak warga terdampak, diberikan kompensasi berupa uang Rp 1,5 juta per bulan, pasokan air PDAM dan air minum setiap hari. Pihak SPBU juga bekerjasama dengan ITS untuk melakukan treatmen ke sumur-sumur warga yang terdampak, hingga TPH 0, sehingga sumur bisa berfungsi biasa atau sudah tidak tercemar.

Setelah dilakukan treatmen oleh ITS, pada 2 Agustus 2024, dilakukan pertemuan antara warga terdampak, DTRKP Kota Kediri, pihak SPBU, dan para pihak lain. Dalam pertemuan itu, pihak ITS memaparkan bahwa dari 13 sumur warga yang terdampak, tinggal 3 sumur yang masih ada kandungan TPH-nya, sedangkan sumur yang lain, kandungan TPH-nya sudah 0 alias sudah tidak ada pencemaran.

Namun, meski kandungan TPH sudah 0, warga menuntut agar semua warga yang pernah terdampak tetap diberi kompensasi bantuan per bulan, air PDAM dan air minum, dibuatkan sumur baru, yang airnya dites lagi oleh ITS. Tuntutan baru inilah yang ditolak SPBU. Karena dinilai berlebihan.

Eko menjelaskan, SPBU menolak tuntutan baru itu dengan alasan, berdasarkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jika terjadi pencemaran maka yang harus menangani pertama adalah DLHKP. Pihak DLHKP yang seharusnya berurusan langsung dengan warga, sesuai dengan tupoksinya, sambil dilakukan penelusuran apakah pencemaran benar disebabkan oleh kebocoran pipa SPBU, selanjutnya apakah kebocoran tersebut sengaja atau  tidak sengaja oleh SPBU,”katanya.

“Disengaja atau tidak disengaja, DLHKP harus turun menyelesaikan masalah warga. Jika terbukti masalah pencemaran disebabkan oleh SPBU, maka sesuai UU, DLHKP dapat meminta ganti rugi kepada SPBU atas biaya – biaya yang sudah dikeluarkan. DLHKP juga dapat memberikan saran kepada Pemkot untuk memberikan surat peringatan kepada SPBU, menghentikan operasional SPBU, dan mencabut izin SPBU,”tandasnya.

Fakta di lapangan, lanjut Eko Budiono,  SPBU dihadapkan langsung dengan warga, DLHKP hanya memantau dan memonitoring, tanpa adanya action. Semua diselesaikan dan dihendel oleh SPBU dengan biaya sampai dengan saat ini mencapai sekitar Rp 1 miliar. “Sekali lagi, untuk 3 sumur yang masih ada kandungan TPH-nya, bantuan tetap diberikan seperti biasanya. Sedangkan sumur yang TPH sudah 0, bantuan dihentikan,”tambah Eko. (mam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.