Keselamatan Warga Kediri Terancam Tambang Sirtu Lereng Kelud

 

Kediri  – Bencana alam mengintai warga Kediri dan sekitarnya. Salah satu penyebabnya adalah kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan pasir dan batu (sirtu) secara besar-besaran di lereng Gunung Kelud.

Salah satunya di wilayah Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri dan Plosoklaten. Tambang itu berada di perbatasan Dusun Petungombo, Desa Sepawon, Kecamatan Plosoklaten dan Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar. Tim Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Kabupaten Kediri memotret kerusakan alam.

“Tim menemukan kubangan air di bekas tambang. Juga dijumpai bekas pipa air yang sudah terputus dan bekas longsor di tebing yang masuk wilayah PDP Margomulyo dan tanah desa Sepawon,” tutur Ketua FPRB dr. Ari Purnomo Adi.

Saat didatangi Tim FPRB, di lokasi ini memang tidak ada aktivitas penambangan sirtu. Nemun demikian, tim menemukan jejak berupa bekas roda truk dan alat berat yang terlihat masih baru. Merasa penasaran, kemudian tim menyusuri lokasi tambang. Ternyata, ada dua alat berat yang sengaja disembunyikan di balik bukit.

Lokasi kedua yang didatangi yaitu di jalur lahar di Dusun Petungkobong. Tepatnya, ada di perbatasan Desa Sugihwaras dan Sempu Kecamatan Ngancar. Seperti pada lokasi pertama, juga tidak dijumpai aktivitas penambangan. Tim mencurigai ada pihak yang sengaja telah memberikan informasi alias bocor.

Di tempat ini ada bekas galian C yang kondisinya cukup dalam. Kemudian, ada alat berat yang sudah dalam keadaan rusak, serta bekas roda truk beserta alat berat. Lantas, warung-warung yang kabarnya selalu ramai, juga terlihat tidak ada aktivitas.

Masih di lokasi kedua ini, timmeninjau jalur evakuasi bila terjadi bencana letusan gunung Kelud. Alhasil, mereka menemukan jalan yang rusak parah dan berlubang cukup dalam. Kerusakan jalur ini diduga akibat dilalui truk-truk yang bermuatan berat. Sehingga jalannya menjadi hancur.

Dengan temuan di lapangan tersebut, FPRB khawatir terhadap potensi terjadinya bencana alam. Aktivitas penambangan secara besar-besaran tersebut mengesampingkan lingkungan. Padahal di bawah lokasi penambangan itu merupakan kawasan pemukiman.

Melihat potensi bencana yang ditimbulkan dari aktivitas galian C, maka FPRB Kabupaten Kediri mendesak Pemerintah Kabupaten Kediri menertibkan pelaku tambang. “Dari hasil pengecekan ini, FPRB Kabupaten Kediri mendesak kepada pemerintah untuk segara mengambil langkah-langkah strategis guna penyelamatan lingkungan dan warga terdampak,” ujar pegiat lingkungan ini.

Fenomena Pasir Hisap di Lokasi Galian C
Pengecekan lokasi penambangan galian C di perbatasan Desa Sugihrawas, Kecamatan Ngacar dan Desa Sepawon, Kecamatan Plosoklaten, pada Selasa (1/2/2022) kemarin meninggalkan cerita unik sekaligus mengerikan. Saat tim melakukan pengecekan, tiba-tiba Ketua FPRB Kabupaten Kediri dr. Ari Purnomo Adi, menginjak pasir berlumpur. Kaki kanan sang dokter masuk ke dalam lumpur dan tidak bisa ditarik.

Kepala Seksi Kedaruratan Bencana BPBD Kabupaten Kediri, Johan Marasponda, yang melihat temannya satu tim mendapat kesulitan, lalu membantu dengan mengangkat kaki ketua FPRB itu dan berhasil. Dokter Ari pun lolos dari jebakan pasir berlumpur. Namun, Johan Marasponda malah terjebak. Kaki kiri, terperosok dan masuk pasir berlumpur bercampur batu kerikil.

Dengan dibantu oleh tim, akhirnya kaki Johan dengan susah payah berhasil diangkat setelah terjepit pasir dan batu selama lebih 30 menit. “Setiap kali kaki saya gerakkan, justru semakin terjepit dan sulit diangkat. Padahal kaki yang terperosok hanya di bawah lutut. Semakin saya paksa, semakin sakit,” kata Johan.

Segala upaya terus dilakukan tim termasuk oleh Wakil ADM Perhutani KPH Kediri Beny Mukti dan Kepala BPDB Kabupaten Kediri Slamet Turmudi, yang ikut membantu melepaskan kakinya dari jepitan pasir berlumpur itu. Johan berpesan kepada siapapun yang sedang mengalami peristiwa seperti yang dialami agar tetap tenang dan terus berusaha melepaskan dari jepitan pasir berlumpur itu. “Itulah pentingnya berkegiatan yang melibatkan banyak kawan. Bila salah satu kawan sedang dalam kesulitan, kawan yang lain akan membantu,” ujar Johan.

FPRB Kabupaten Kediri telah memotret ancaman bencana alam dampak dari aktivitas penambangan pasir dan batu di lereng Gunung Kelud. Ketua FPRB dr. Ari Purnomo Adi memaparkan secara rinci dalam rapat koordinasi tanggap bencana alam dengan Pemkab Kediri.

“Seperti laporan BPBD Kabupaten Kediri yang menyebutkan bahwa adanya ancaman terhadap mata air, adanya ancaman terhadap jalur distribusi air (pipa PDAM), dan adanya ancaman terhadap jalur evakuasi bencana erupsi Gunung Kelud,” katanya.

Bila penambangan sirtu itu tidak segera ditangani, imbuh dr. Ari, maka akan ada lima desa yang terdampak. Antara lain, Desa Sugihwaras, Petungombo, Sempu, Manggis, Babadan. Dari lima desa rawan bencana tersebut ada sekitar 20 ribu jiwa yang menghuni.

“Potensi kerawanan akibat penambangan sirtu itu antara lain putusnya produksi (rusaknya mata air) dan distribusi air minum (putusnya pipa air), rusaknya jalur utama evakuasi bencana erupsi Kelud, dan rusaknya jalur pendukung wisata Kelud,” kata pria yang juga sebagai Ketua Aliansi Relawan Peduli Lingkungan Kediri ini.

Rakor sendiri dipimpin oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kediri Dede Sudjana. Pihaknya menyampaikan upaya untuk menekan potensi kerawanan sangat besar bila terjadi bencana alam. Kemudian, potensi chaos juga sangat tinggi, termasuk kerugian yang ditanggung oleh masyarakat dan Pemkab Kediri sangat besar.

Untuk itu, sekda mengusulkan langkah-langkah strategis dalam mencegah timbulnya bencana dan menginstruksikan kepada BPBD Kabupaten Kediri segera membentuk tim mitigasi lintas sektor dan tim mitigasi segera meninjau lokasi sumber kerawanan. “Kami minta BPBD Kabupaten Kediri segera menyusun laporan hasil mitigasi dan segera melaporkan kepada pimpinan,” perintahnya.


Aktivitas penambangan pasir dan batu di lereng Gunung Kelud Kabupaten Kediri secara besar-besaran telah berlangsung sejak lama. Kegiatan itu makin marak setelah adanya berbagai proyek besar yang meminta suplay material. Pasir dari lahar Gunung Kelud dikenal berkualitas dan cocok untuk proyek.

Proyek-proyek tersebut seperti pembangunan jalan tol Madiun – Surabaya, Bandara Dhoho Kediri, Bendungan Semantok, Bendungan Sawo, dan Bendungan Linggis. Dengan adanya sejumlah proyek strategis nasional itu, maka kebutuhan material sirtu dari wilayah Kediri dan Blitar ikut meningkat.

Maka, pengusaha tambang dari luar dengan menggandeng beberapa pengusaha lokal melakukan penambangan menggunakan alat berat. Dari sekian banyak pelaku tambang, ada diantaranya yang tidak berizin, alias ilegal.

“Proses penambangan menggunakan alay berat menciptakan kapitalis-kapitalis baru yang merulapan azas manfaat bagi masyarakat sekitar. Mereka menambang dengan menggunakan armada pengangkut dengan kapasitas yang melebihi dan langsung dibawa dari lokasi tambang ke loar kota,” kata Tubagus Fitrajaya, Koordinator Aliansi Penambang Tradisional Kediri Raya saat berada di Kantor BPBD Kabupaten Kediri, pada Jumat (4/2/2022).

Mewakili para penambang tradisional, Tubagus sengaja menemui Kepala BPBD Slamet Turmudi dan Ketua FPRB Kabupaten Kediri dr. Ari Purnomo Adi. Kedatangannya untuk mendesak, pemerintah dan pemangku kebijakan mengambil langkah-langkah preventif pencegahan dari aktivitas penambangan pasir mekanik yang mengesampingkan kerusakan alam.

“Dampak yang mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar adalah, rusaknya jalan akibat oleh armada yang over dimensi, over load. Kemudian berkurangnya pendapatan masyarakat penambang tradisional. Ketiga berkurangnya atau hilangnya pendapatan stockpile alias galangan lokal. Keempat hilangnya pekerja kuli muat di stockpile lokal. Kelima, hilangnya perekonomian di sekitar galangan terutama warung makan dan bengkel,” jelas Tubagus.

Masih katanya, dengan demikian tidak sesuai dengan program pemerintah tentang Cipta Karya masyarakat berkaitan dengan dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan bersama. Maka menyikapi hal itu, Aliansi Penambang Tradisional Kediri Raya mengajak berdikusi dengan pemerintah dan pengusaha serta menyampaikan beberapa solusi.

Solusi tersebut pertama dengan keberadaan stockpile. Material dari quary harus transit di stockpile dengan memanfaatkan armada lokal sebagai jasa angkut, sedang armada luar kota hanya bisa membeli material di stockpile. Stockpile yang ada menerima suplay bahan dari masyarakat penambang manual dan dari quart dengan perbandingan 30 persen – 70 persen. Sehingga akan muncul stockpile dan pertumbuhan ekonomi sekitar.

“Kedua penertiban armada truck yang ODOL alias Over Dimensi Load. Dengan masuknya armada luar kota yang ODOL mengakibatkan kerusakan jalan di wilayah Kediri semakin banyak, selama ini kami Aliansi selalu menjadi tertuduh bahwa armada material kami yang jadi penyebab kerusakan jalan, padahal untuk armada lokal rata-rata kapasitas bak sekitar 5 kubik. Sedangkan armada luar bisa dipastikan diatas 7 kubik,” katanya.

Solusi ketiga yang ditawakan adalah dengan melibatkan BUMDES. Selama ini dampak dari material bukan hanya di sekitar tambang tapi di sekitar wilayah. Aliansi Penambang Tradisional berdiskusi dengan beberapa BUMDES sekiranya utuk usaha support material atau pecah batu (stone cruisher) bekerjasama dengan penambang tradisional sehingga ada azas manfaat berantai secara ekonomi maupun sosial.

Terakhir, solusi yang ditawarkan berupa Legalitas Penambang Tradisional. Selama ini wilayah Kediri tidak ada WPR. Sehingga tidak mungkin bisa muncul IPR (Izin Penambangan Rakyat). Ini berbeda dengan kota sekitar Kediri yang ada WPR.

“Indikasinya, penguasaan wilayah tambang oleh para penguasa-penguasa era terdahulu dan mengebiri masyarakat tradisional. Bahkan, dengan menyebut penambang liar atau ilegal,” ungkapnya. Masih kata Tubagus, dengan demikian, maka ekonomi berdampak bisa dirasakan oleh masyarakat Kediri. Bahkan, Pemkab Kediri bisa mendongkrak pendapatan melalui retribusi atau apapun bentuknya. Selain itu, kerusakan jalan Kediri lebih bisa dikontrol.

Sikap Pemkab Kediri
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Kediri, Slamet Turmudi mengaku, menerima masukan dari Aliansi Penambang Tradisional dan semua pihak, dalam rangka mencegah terjadinya bencana alam yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan pasir di lereng Kelud. Pihaknya, juga sudah melakukan pengecekan secara langsung di lapangan, sebagai tindak lanjut dari rapat koordinasi. Dari hasil pengecekan itu, langsung disampaikan kepada Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana. “Kami hanya mengumpulkan data lapangan dan menyusun laporan hasil mitigasi, untuk secepatnya dilaporkan kepada pimpinan,” kata Slamet.

Pengecekan sendiri melibatkan tim gabungan terdiri dari BPBD Kabupaten Kediri, dinas lingkungan hidup, dinas PUPR, satpol pp, TNI-Polri, Pemerintah Kecamatan Ngancar dan Plosoklaten, Perhutani KPH Kediri, Cabang Dinas Kehutanan Trenggalek Wilayah Kerja Kediri.

“Terkait masukan dari aliansi, ini penting bagi kami, dalam upaya upaya pencegahan. Maka, akan kita akan pelajari terlebih dahulu. Kita tindak lanjuri dan ini merupakan bagian dari kolaborasi. Kita sama-sama mencegah terjadinya bencana, khususnya tanah longsor, akibat penambangan pasir dengan alat berat,” tegasnya.

Diakui Slamet Turmudi, penanganan kerusakan ancaman di sekitar Gunung Kelud dan penambangan pasir, harus melibatkan semua pihak termasuk masyarakat. Dari hasil analisis BPBD nantinya yang didukung oleh kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, diyakini akan melahirkan solusi penyelesaian yang arif dan bijaksana. [adv/com]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.