UJIAN KOMPETISI ‘TERTUTUP’ BISA JADI ‘BUKTI’ BUPATI ?

KOMPETISI UJIAN PERANGKAT DESA, LAYAK DIULANG?

Menelusuri isu Dugaan KKN Pengisian Perangkat Desa Masal di Kediri (11)

Oleh : Imam Subawi

Wartawan Kediri Post

‘Tantangan’ Bupati Kediri kepada Masyarakat untuk membuktikan kecurangan pada proses ujian perangkat desa masal (27/12/2023), banyak menuai komentar apatis dari masyarakat pembaca kediri post. Nyaris semua komentar, intinya mengatakan ‘tidak mungkin dibuktikan’. Pertama, tidak mungkin ada kwitansi. Kedua, (jika betul ada,pen) nyaris tidak mungkin yang membayar dan menerima, mengaku kepada warga bahwa dia telah memberi atau menerima.

Selain itu, pernyataan Bupati Dhito yang intinya, bahwa yang tanggungjawab ‘penuh’ pada proses pengisian perangkat desa adalah pada kepala desa. Pernyataan ini, dinilai sebagian masyarakat terkesan sebagai bagian dari upaya Bupati Dhito untuk ‘menghindar’ dari persoalan atau terkesan lepas tangan. Mengingat, tanpa Perda, tanpa Peraturan Bupati, tanpa persetujuan Bupati, pengisian perangkat desa masal di Kabupaten Kediri, tidak bisa dilakukan. Dasar pengisian kekosongan perangkat adalah Perda dan Peraturan Bupati.

Sebagian peserta ujian yang ditemui kediri post, berharap agar ujian perangkat desa itu diulang, dilaksanakan secara terbuka dan fair. “Kalah tidak apa-apa, asal fair, terbuka. Ini harus diulang,”kata salah seorang peserta dari kecamatan Ngadiluwih, yang ditemui kediri post pada Rabu (6/1/2024), sambil menceritakan banyak hal saat proses ujian.

Mungkin, hal paling riil yang ditemui dan dirasakan sebagian peserta, bahwa proses ujian perangkat desa itu, tidak menggambarkan proses kompetisi yang terbuka dan fair. Jika Bupati Dhito ingin ada bukti, mungkinkah realitas proses ujian yang dinilai dinilai kurang fair dan kurang terbuka, tidak menggambarkan kompetisi pada umumnya, ini bisa menjadi bagian dari ‘bukti’ yang diminta Bupati Dhito?

Pertama, layaknya sebuah kompetisi apapun, untuk mencari satu orang juara, dengan banyak peserta, seperti  lomba lari, sepakbola, memanah, dan sebagainya, prosesnya harus terbuka, yaitu semua peserta bisa mengetahui hasil dari peserta lain saat itu juga.

Kedua, fair play. Semua peserta bisa mengetahui apakah ada pelanggaran saat proses kompetisi itu atau tidak.

Ketiga, ada wasit. Wasit yang bisa dan berhak memberikan penilaian, apakah satu peserta melakukan pelanggaran atau tidak. Mengingat, satu peserta kompetisi akan ikut menentukan nasib peserta yang lain. Antar peserta memiliki ketergantungan untuk menentukan siapa juaranya. Apakah satu peserta bisa menjadi juara, dalam proses yang terbuka dan fair, atau tidak.

Ujian perangkat desa yang digelar masal (27/12/2023) lalu, banyak dinilai tidak menggambarkan satu kompetisi yang fair play dan terbuka. Beberapa indikatornya antara lain,

Pertama, peserta satu dengan peserta lain, tidak bisa langsung saling mengetahui proses peserta lain. Apakah peserta lain benar-benar ‘berlari kencang’ atau malah tiduran, hingga dia bisa menjadi juara?

Kedua, hasil ujian peserta satu dengan peserta lain, tidak bisa langsung saling mengetahui. Apakah dia benar-benar ‘berlari sampai finish’ di urutan pertama atau tidak? Yang mereka tahu, satu orang diumumkan sebagai juaranya, dengan nilai global yang sudah ditetapkan.

Untuk mengetahui nilai hasil ujian peserta lain, selesai ujian, sebelum diumumkan, peserta lain harus bertanya sendiri ke peserta lainnya. Itu pun, jika peserta lain yang ditanya, bersedia menjawab dan jujur.

Ujian perangkat desa adalah sebuah kompetisi, untuk menentukan kalah menang, juara dan tidak juara. Tanpa memberikan batasan nilai minimal. Hanya ada satu juara, hanya satu pemenang. Siapa nilai tertinggi, dia juara, dia yang menang.

Berbeda 180 derajat dengan ujian kelulusan, yang bisa lulus bersama, atau tidak lulus bersama, dengan standar batas nilai minimal. Betulkah ujian perangkat desa masal di Kediri layak diulang? (mam/bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.