Ups… BUPATI KEDIRI ‘TANTANG’ WARGA BUKTIKAN KECURANGAN?

UJIAN PERANGKAT ADALAH KOMPETISI, BUKAN UJIAN PRIBADI

Menelusuri Isu Dugaan KKN Pengisian Perangkat Desa Masal di Kediri (10)

Oleh Imam Subawi

Wartawan Kediri Post

Sejak Jum’at (5/1/2024), mulai viral video Bupati Kediri Dhito Pramana, yang menanggapi banyaknya keluhan dan pengaduan Masyarakat, atau lebih tegasnya sebagai ‘tantangan’ bupati terkait kejanggalan ujian pengisian perangkat desa masal, yang digelar (27/12/2023). Juga maraknya isu dugaan kemungkinan adanya ‘jual beli’ jabatan perangkat desa.

Pada video berdurasi 5 menit 8 detik itu, salah satu intinya, Bupati Dhito menghimbau masyarakat untuk membuktikan adanya kecurangan atau dugaan jual beli jabatan perangkat desa. Bahkan, dia siap mengantar warga yang punya bukti kecurangan untuk melapor ke polisi atau kejaksaan.

Apapun ceritanya, sikap bupati yang membuka diri dan memuat hotline pengaduan ini, harus diapresiasi. Namun diyakini, 99,9% masyarakat tidak akan ada yang mampu membutkikan secara fisik terdokumen, untuk membuktikan kebenaran isu dugaan kemungkinan adanya ‘kecurangan’ itu. Sehingga, ‘tantangan’ Bupati Dhito ini seakan menjadi naif. kurang realistis, tetapi tetap baik.  Setidaknya, kewenangan dan sumberdaya masyarakat secara umum,  sering kurang cukup untuk bisa mencari bukti terdokumen.

Ada beberapa alasan, mengapa ‘tantagan’ Bupati ke warga itu nyaris tidak mungkin dilakukan.  Pertama, masyarakat umum tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dokumen. Jika ada, umumnya tergolong ‘kebetulan’. Misalnya kwitansi (hampir pasti tidak ada,pen). Apalagi jejak digital hasil ujian yang bisa menjadi bukti dugaan awal kemungkinan adanya kecurangan itu.

Kedua, masyarakat secara umum tidak memiliki sumberdaya yang cukup, untuk mampu menelusuri dokumen dan jejak atau data digital, yang bisa menjadi petunjuk awal dugaan kemungkinan adanya kecurangan itu. Termasuk, jika harus menelusuri transaksi keuangan pihak-pihak terkait tertentu, yang harus melibatkan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan). Masyarakat tidak memiliki akses cukup dan kewenangan.

Yang paling realistis, mungkin Bupati Dhito bisa memerintahkan anaknya di inspektorat, dengan segala kewenangannya, untuk menelusuri benar atau salahnya isu dugaan kemungkinan adanya kecurangan atau kemungkinan adanya ‘jual beli’ jabatan, untuk mendapatkan petunjuk awal tentang benar atau salahnya isu di masyarakat. Inspektorat dengan segala kewenangan, tugas, hak gaji, dan sebagainya, memang bertugas untuk mencari hal hal yang kurang pas dalam pemerintahan.

Ketiga, kemampuan masyarakat, umumnya hanya pada mendengar kabar isu di lapangan, yang mungkin bisa mengarah ke indicator kemungkinan adanya transaksi jabatan. Misalnya, orang jual tanah tapi tidak untuk membeli apa-apa, ditambah masih utang lagi ke tetangga atau saudara, bersamaan dengan anaknya yang mendaftar sebagai perangkat desa, plus muncul isu di kampung bahwa dia akan menjadi perangkat desa baru.

Atau cerita-cerita orang yang mau mendaftar, tapi mundur atau tidak jadi mendaftar, karena mendengar isu bahwa nanti yang akan jadi perangkat baru adalah si A atau si B atau si C, dan seterusnya.

Atau, bisa pula, masyarakat mengetahui bahwa anak, menantu, keponakan, atau saudara kepala desa atau perangkat desa, yang mendaftarkan diri sebagai calon perangkat, lalu muncul isu bahwa mereka inilah yang akan menjadi perangkat desa baru.

Setelah ujian selesai dan diumumkan, terbukti nama-nama mereka  yang menjadi perangkat desa baru. Selebihnya, masyarakat akan kesulitan atau nyaris tidak mungkin memiliki bukti dokumen.

Khusus berkaitan dengan proses ujian masal. Ada beberapa catatan.

Pertama, ujian perangkat desa adalah KOMPETISI, sekali lagi, KOMPETISI. Bukan ujian pribadi. Mengingat, hasil ujian masing-masing peserta, memiliki saling ketergantungan. Siapa nilai tertinggi, dia yang menang. Selain itu, hanya ada satu pemenang. Bukan seperti ujian SIM atau ujian sekolah, yang hanya menentukan lulus atau tidaknya seorang peserta. Tidak untuk mencari kemenangan dari peserta lain, tapi kelulusan pribadi, Sehingga tidak saling tergantung peserta satu dengan peserta lain.

Layaknya sebuah kompetisi, seluruh peserta harus tahu semua apa yang terjadi, misalnya bisa tahu apa jawaban antar peserta, dirinya sendiri dan peserta lain. Benar atau salah jawabannya. Nilai harus langsung diketahui bersama oleh seluruh peserta. Orang lain atau penonton juga bisa mengawasi langsung, apakah ada pelanggaran atau tidak.

Membandingkan dengan  kompetisi lomba lari misalnya, siapapun bisa mengetahui siapa juaranya. Menit berapa dan detik berapa sang juara masuk finish. Jika belum ada peluit tanda mulai lari, tapi salah satu peserta sudah lari duluan, semua peserta, penonton, dan wasit, semua bisa mengetahui. Maka start lari HARUS DIULANG.

Sekali lagi, ujian perangkat desa bukan ujian pribadi, tapi ujian kompetisi. Maka harus terbuka, fair play, dan bisa diketahui semua orang. (mam/bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.