Korupsi Alun-Alun, Mulai Disidik Polisi?

Bisa Jadi Kasus Jembatan Brawijaya Terulang ?

KEDIRI- Kasus putus kontrak pembangunan alun-alun Kota Kediri, 2023, mulai memasuki babak baru. Dikabarkan, Polda Jatim mulai melakukan penyelidikan terkait kemungkinan adanya dugaan korupsi pada proses pembangunan alun-alun. Jika kasus ini berlanjut, maka setidaknya kasus ini merupakan kasus kedua dugaan korupsi proyek Pembangunan di Kota Kediri, di masa pemerintahan Abdullah Abu Bakar. Pertama, kasus Pembangunan Gedung Serba Guna Kelurahan Ringinanom. Kedua, kasus proyek Pembangunan alun-alun.

JADI KASUS JEMBAYAN BRAWIJAYA II? Proyek Alun-alun Kota Kediri yang kini mangkrak setelah kontraktor diputus kontrak

Penyelidikan polisi terkait kemungkinan adanya dugaan korupsi ini, juga membuka peluang terbuktinya wacana di masyarakat bahwa Pembangunan alun-alun Kota Kediri bisa menjadi tragedi ‘Jembatan Brawijaya kedua’ yakni menjadi kasus hukum yang menyeret sejumlah pejabat Pemkot Kediri.

Ada beberapa keserupaan antara Pembangunan Alun-alun dengan Jembatan Brawijaya. Pertama, terjadi persoalan sebelum pekerjaan tuntas. Ke dua, proyek memakan biaya puluhan miliar. Ke tiga, yang melakukan pengusutan adalah polisi, bukan kejaksaan. Ke empat, ada kemungkinan melibatkan pejabat tinggi di Pemkot Kediri. Ke lima, persoalan muncul menjelang momen politik.

Kepala Dinas PUPR Kota Kediri, Endang Kartika, saat dikonfirmasi di kantornya, (Jumat, 22/12), membenarkan bahwa dirinya sudah dimintai keterangan oleh polisi, terkait dengan pemutusan kontrak pembangunan alun-alun itu. Selain itu, berkas-berkas terkait dengan Pembangunan alun-alun juga sudah diserahkan ke polisi. “Sudah. Saya sudah dimintai keterangan,”ujar Endang.

Hanya saja, Endang belum mengetahui pasti tentang status kasus tersebut, apakah sudah ada tersangkanya atau belum.  “Saya belum tahu itu,”tandas Endang.

Endang menjelaskan, putus kontrak dengan kontraktor itu terpaksa dilakukan karena sudah beberapa kali diperingatkan, sampai dikeluarkan Surat Peringatan (SP) ke-3, kontraktor tidak bisa memenuhi target yang sudah disepakati. Secara umum, persoalan utamanya adalah karena proyek itu tidak sesuai dengan bestek yang sudah ditetapkan. “Tidak sesuai bestek,”ujarnya.

Endang juga mengakui bahwa pihaknya sama sekali belum membayar kewajiban bayar proyek itu ke kontraktor, karena memang dinilai belum memenuhi syarat prosentase yang disepakati dan diterima, yaitu 35 persen. Misalnya, kontraktor mengklaim sudah melaksanakan proyek 40 persen. Tetapi setelah diperiksa, ternyata yang bisa diterima atau memenuhi standar baru sekitar 28 persen, dan sebagainya.

Meski demikian, Endang mengaku pihaknya tetap akan membayar progress Pembangunan itu, sesuai dengan prosentase yang bisa diterima. “Sekarang masih diaudit dan diperiksa. Jika sudah ada ketentuan berapa yang harus dibayar, akan kita bayar,”jelas Endang.

Mungkinkah kasus alun-alun ini benar-benar akan menjadi kasus Jembatan Brawijaya ke-2? Betulkah akan menyeret para pejabat tinggi di Pemkot Kediri? (mam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.