5 Kali Berubah, Nama Supadi SE Human Error?

 

HUMAN ERROR? : Satirin dan Triyas saat memberi kesaksian di PN Kabupaten Kediri, Kamis (16/4/2020)

KEDIRI – Kasus dugaan penggunaan nama gelar tidak sah yang kini menjerat Supadi, bakal calon Bupati Kediri, ada kemungkinan sebagai human error. Kemungkinan terjadinya human error itu, terlihat dari keterangan saksi tiga pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Kediri, yaitu  Dyah Rullyani Purnawirastari, Triyas  Kristiawan, dan Tejo Wisnu Untoro. Juga menghadirkan  Satirin, mantan Kepala DPMD yang dititipi Supadi untuk mengurus perubahan Kartu Keluarga dan KTP, pada sidang lanjutan di PN Kabupaten Kediri, Kamis, (16/4/2020).

Selain itu, kesaksian mereka yang dilakukan secara bersama-sama itu terkesan kurang singkron. Supadi sendiri sudah mengajukan perubahan nama sampai 5 kali, tetapi selalu tidak sesuai antara KK dengan KTP, kadang di KTP ada tulisan SE, kadang tidak ada. Kadang di KK ada SE, kadang tidak ada. Meskipun yang diajukan dalam berkas kelengkapannya selalu membawa ijazah SLTA sederajat.

Dalam kesaksiannya, Dyah menjelaskan bahwa perubahan pengisian nama, gelar, pendidikan, harus dilengkapi dengan berkas, termasuk ijazah terakhir. Jika SMA sederajat, harus dilengkapi ijazah SMA, jika ingin ada gelar S1 dengan ijazah S1, jika ingin ada gelar S2 dengan ijazah S2. Untuk perubahan itu, selain berdasarkan berkas pengajuan, juga ada wawancara langsung dengan yang bersangkutan atau bisa diwakilkan.

Saat ditanya penasehat hukum Supadi, Prayoga SH, apakah sebelum memberi kesaksian di pengadilan mereka mencari bukti-bukti atau berkas milik Supadi? Dyah mengaku sudah mencari tapi belum ditemukan. Sedangkan Triyas mengaku tidak mencari bukti-bukti yang ada.

Saat ditanya mengapa tulisan SE yang sebelumnya berada di belakang nama Supadi masuk di kolom nama, kemudian masuk di kolom gelar? Padahal di berkas pengajuan tidak ada ijazah S1, hanya ijazah SMA, Dyah mengaku itu berdasarkan data di Dispendukcapil sebelumnya. Sedangkan Triyas mengaku tidak tahu.

Saat ditanya kemungkinan adanya human error dalam memasukkan data di Dispendukcapil, Triyas mengaku kemungkinan itu ada. Sedangkan Dyah mengaku semuanya berdasarkan berkas dan data yang ada sebelumnya. Hanya saja, Dyah tetap tidak bisa menunjukkan data ijazah S1 Supadi yang pernah dimasukkan ke Dispendukcapil.

Sedangkan Satirin mengaku hanya minta bantuan dengan menyerahkan berkas saja, tidak pernah terjadi wawancara langsung dirinya dengan petugas Dispendukcapil.

Sementara itu, Supadi, menjelaskan dia tidak pernah memasukkan ijazah S1 dalam berkas Dispendukcapil, tapi selalu ijazah SMA. Saat mau maju sebagai calon kepala desa 2019, berkas yang dia masukkan ke Dispendukcapil sebagai persyaratan, juga ijazah SMA, tapi tulisan SE tetap muncul. “Itu berdasarkan data yang masuk sebelumnya,”jawab Dyah. (mam)

 

Times Changed, Is the Name Supadi SE Human Error?

KEDIRI – The case of the alleged use of an illegitimate title name that has now ensnared Supadi, a candidate for the Regent of Kediri, is likely a human error. The possibility of the occurrence of human error is evident from the testimony of three witnesses from the Department of Population and Civil Registry (Dispendukcapil) of Kediri Regency, namely Dyah Rullyani Purnawirastari, Triyas Kristiawan, and Tejo Wisnu Untoro. Also presenting Satirin, the former Head who was entrusted by Supadi to take care of changes to the Family Card and KTP, at a follow-up hearing at the District Court of Kediri, Thursday (4/16/2020).
In addition, their testimony which was carried out jointly seemed less synchronous. Supadi himself has submitted a change of name up to 5 times, but it is always incompatible between KK and KTP, sometimes in KTP there is SE written, sometimes there is not. Sometimes in KK there is SE, sometimes there isn’t. Although those submitted in the completeness file always carry a high school diploma or equivalent.
In his testimony, Dyah explained that the change in filling in the name, title, education, must be completed with the file, including the last diploma. If a high school is equal, you must have a high school diploma, if you want a bachelor’s degree with a bachelor’s degree, if you want a master’s degree with a diploma. For this change, besides based on the submission file, there is also a direct interview with the person concerned or can be represented.
When asked by Supadi’s legal adviser, Prayoga, SH, did they give evidence or files before Supadi testified in court? Dyah claimed to have searched but was not found. While Triyas claimed not to look for available evidence.
When asked why the SE written previously behind Supadi’s name entered in the name column, then entered in the title column? Even though in the filing file there was no S1 diploma, only a high school diploma, Dyah claimed it was based on data from the previous Dispendukcapil. While Triyas claimed not to know.
When asked about the possibility of human error in entering data in Dispendukcapil, Triyas admitted that there was a possibility. While Dyah claimed everything was based on files and data that existed before. However, Dyah still could not show Supadi S1 ​​diploma data that had been submitted to Dispendukcapil.
While Satirin claimed to only ask for help by submitting the file, there had never been a direct interview with the Dispendukcapil officer.
Meanwhile, Supadi, explained that he had never included a S1 diploma in the Dispendukcapil file, but always a high school diploma. When he wanted to advance as a candidate for the village head in 2019, the file he had submitted to Dispendukcapil as a requirement, was also a high school diploma, but the SE text still appeared. “That is based on data entered earlier,” answered Dyah. (mam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.