Serahkan Aset ‘Gratis’, Potensial Pidana

KEDIRI – Permintaan Pemkot Kediri ke Pansus DPRD Kota Kediri agar lahan SHP 33 di Kelurahan Balowerti untuk diserahkan ke pengembang, bisa berpotensi pidana, jika tidak dilakukan perjanjian ruilslag baru. Sebab, Penyerahan aset di luar perjanjian dan tata cara ruilslag sebagaimana yang sudah diatur dalam UU, bisa dimaknai sebagai penyerahan aset negara secara gratis. Jika tidak dilakukan proses ulang, mulai perjanjian baru, bisa dinyatakan batal demi hukum dan apabila tetap dilanjutkan akan berpotensi pidana. “Kalau aset itu diberikan begitu saja tanpa ada peninjauan ulang terkait ruislag, patut dicurigai ada apa di balik ini,”ujar Sutrisno SH, praktisi hukum di Kediri.

SUTRISNO SH : Praktisi hukum di Kediri

Seperti diberitakan. Pemkot Kediri terkesan ngotot untuk menyerahkan aset lahan SHP 33 di Kelurahan Balowerti, Kota Kediri, ke PT. SK Bangun Persada. Padahal, pada perjanjian ruilslag atau tukar guling tanah aset, lahan SHP 33 tidak termasuk yang diajukan dalam proses tukar guling. Selain itu, pada putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan Pemkot ke PT. Dhoho Nauli, juga tidak klausul apapun untuk menyerahkan aset LHP 33 ke PT. SK Bangun Persada. Pansus DPRD sendiri, tidak berani memutuskan untuk menyetujui pelepasan aset SHP 33 karena tidak ada dasar yang bisa dijadikan patokan itu sudah cacat hukum.

Menurut Sutrisno, ada beberapa dasar aturan yang digunakan untuk melakukan ruilslag atau tukar guling aset pemerintah, antara lain PP No. 6 tahun 2006, Peraturan Mentri Keuangan No. 96 tahun 2007, juga beberapa peraturan di bawahnya, terkait pengelolaan aset milik negara / daerah, yang salah satunya mengatur tentang tukar guling. “Dilihat dari peraturan itu, tidak bisa aset negara atau daerah diserahkan ke swasta secara gratis,”tandas Sutrisno.

Jika dari data-data dan dokumen yang ada, lanjut Sutrisno, Pemkot harus melakukan proses ruilslag dari awal, mulai perjanjiannya, gantinya lahan, kompensasi, kompensasi, persetujuan dewan, dan sebagainya. “Dalam kasus SHP 33, kalau tiba-tiba dewan dan Pemkot serta merta menyerahkan aset ke swasta tanpa proses ruilslag dari awal, potensial bermasalah pidana di belakang hari,”jelas Sutrisno.

Sutrisno mengingatkan, agar dewan dan Pemkot berhati – hati terkait ruilslag tanah. Mengingat, sering dalam proses ruilslag ada ‘sesuatu’ yang mengiringi, yang membuka adanya kerawanan munculnya persoalan. “Setidaknya, prosedur baku dan tata aturan ruilslag harus benar-benar dijalankan untuk meminimalisir kemungkinan terjadi masalah di kemudian hari,”katanya. (mam)

Hand over “Free”, Potential Criminal Asset

KEDIRI – The request from the Kediri City Government to the Special Committee for the DPRD of Kediri City for the 33 SHP land in Balowerti to be handed over to the developer could potentially be criminal, if a new ruilslag agreement is not made. This is because the transfer of assets outside of the agreement and the statutory procedure as stipulated in the law can be interpreted as the free handover of state assets. If a repeat process is not carried out, a new agreement starts, it can be declared null and void and if it continues there will be potentially criminal consequences. “If the assets are given away without any review related to ruislag, it should be suspected what is behind this,” said Sutrisno SH, a legal practitioner in Kediri.
As reported. The municipal government of Kediri seems insistent on handing over the land assets of SHP 33 in Balowerti Village, Kediri City, to PT. SK Bangun Persada. In fact, in the ruilslag agreement or land asset swap, the 33 SHP land was not included in the proposed swap process. In addition, in the decision of the Supreme Court (MA) regarding the City Government’s lawsuit against PT. Dhoho Nauli, also does not have any clause to hand over the assets of LHP 33 to PT. SK Bangun Persada. The DPRD Special Committee itself, did not have the courage to decide to approve the release of SHP 33 assets because there was no basis that could be used as a benchmark, it was already legally flawed.
According to Sutrisno, there are several basic rules that are used to carry out a ruilslag or exchange of government assets, including PP. 6 of 2006, Minister of Finance Regulation No. 96 of 2007, as well as several regulations under it, related to the management of state / regional assets, one of which regulates the exchange and roll. “Judging from the regulation, state or regional assets cannot be handed over to the private sector for free,” said Sutrisno.
If from the existing data and documents, continued Sutrisno, the municipal government must carry out a ruilslag process from the beginning, starting from the agreement, land exchange, compensation, compensation, council approval, and so on. “In the case of SHP 33, if suddenly the council and the municipal government immediately hand over the assets to the private sector without a ruilslag process from the start, there is a potential for criminal problems at a later date,” explained Sutrisno.
Sutrisno reminded the council and municipal government to be careful regarding land dislocations. Bearing in mind, there is often a “something” in the process of breaking down that accompanies it, which opens up a vulnerability to the emergence of problems. “At least, the standard procedures and rules of the ruilslag must really be carried out to minimize the possibility of problems occurring in the future,” he said. (mam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.