Sungai Buntung Hilang, Tanpa Kompensasi?
KEDIRI – Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Kediri, akhirnya ‘Angkat Tangan’ terkait permintaan Pemkot agar lahan Sertifikat Hak Pakai (SHP) 33 di Kelurahan Balowerti, Kota Kediri, diserahkan ke pengembang PT. SK Bangun Persada, pimpinan Upoyo Sarjono. Untuk memutuskan apakah permintaan Pemkot bahwa SHP 33 disetujui diserahkan ke pengembang atau tidak, diserahkan ke paripurna dewan. “Disetujui atau tidak (SHP 33 diserahkan ke pengembang,red), diserahkan ke paripurna dewan“ ujar Mistiani, ketua Pansus SHP 33 DPRD Kota Kediri.
Seperti diberitakan, Pemkot Kediri mengajukan surat persetujuan pelepasan tanah SHP 33 di Kelurahan Balowerti seluas 3.510 m2 ke pengembang PT. SK Bangun Persada. Namun, di internal Pansus itu suara terbelah. Ada yang berusaha menyetujui dan ada yang menolak.
Saat ditanya soal suara anggota Pansus yang terbelah, Mistiani membenarkan, memang ada anggota Pansus yang menyetujui pelepasan dan ada yang tidak menyetujui. Sehingga Pansus tidak bisa membuat keputusan bulat. Akhirnya disepakati keputusan diserahkan ke paripurna.
Menurut Mistiani, berdasarkan dokumen dokumen yang diserahkan Pemkot ke Pansus, tidak ada dokumen yang menguatkan sebagai dasar untuk menyetujui pelepasan SHP 33 itu. Pertama, pada perjanjian No. 590 / 1352 / 419.44 / 2014, antara Pemkot Kediri dengan PT. SK Bangun Persada, tidak menyebut bahwa SHP 33 sebagai bagian dari perjanjian. Kedua, pada gugatan Pemkot Kediri ke PT. Dhoho Nauli, mulai putusan Pengadilan Negeri (PN) sampai Mahkamah Agung (MA), hanya menyebut bahwa antara Pemkot dengan PT Dhoho Nauli sudah tidak ada masalah. Selain itu, pada gugatan itu, PT. SK Bangun Persada tidak masuk sebagai bagian dari para pihak. “Tidak ada satu klausul pun bahwa Pemkot harus menyerahkan SHP 33,”tandas Mistiani.
Sementara itu, di sisi lain proses ruilslag dengan PT. SK Bangun Persada ini, juga masih menyisakan sejumlah pertanyaan yang mengganjal di sebagian warga. Misalnya, terkait hilangnya Sungai Buntung, yang dulu membujur dari selatan ke utara, dengan lebar sekitar 5 m dan panjang sekitar 200 m atau total sekitar 1000 m2. “Dulu, di samping saluran air itu ada jalan, becak bisa lewat. Ditambah dengan luas saluran airnya. Ya kira-kira sekitar 5 m,”ujar salah seorang warga, yang ditemui di sekitar lokasi.
Hilangnya Sungai Buntung ini, bagaimana statusnya, juga belum jelas. Apakah ada kompensasi atau tidak, termasuk yang diganti tanahnya atau tidak, ada alih fungsi atau tidak, belum jelas. “Kalau tidak ada apa-apanya, berarti Upoyo (PT. SK Bangun Persada,red) bisa menikmati tanah saluran air dan jalan itu secara gratis dari Pemkot. Lumayan lho, bisa 1000 m2,”tambah sumber itu.
Saat kediripost ke lokasi, pada ujung Sungai Buntung di sebelah utara kompleks Persada itu, masih terlihat bekas bangunan plengsengan sungai dari batu di sebelah sisi kiri dan kanan. Hanya, sungai itu kini ditimbun dengan tanah dan ditanami pohon papaya oleh petani sekitar, karena jalur saluran airnya sudah mati. (mam)
Ruilslag SHP 33, Pansus ‘Raise Hands’
Lost River, Without Compensation?
KEDIRI – The Special Committee (Pansus) of the Kediri City DPRD, finally ‘Raise Hands’ regarding the City Government’s request that the 33 Land Use Rights Certificate (SHP) in Balowerti Village, Kediri City, be handed over to the developer PT. SK Bangun Persada, led by Upoyo Sarjono. To decide whether the City Government’s request that SHP 33 is approved is submitted to the developer or not, it is submitted to the plenary council. “Approved or not (SHP 33 is submitted to the developer, red), submitted to the plenary council,” said Mistiani, chairman of the Special Committee SHP 33 DPRD Kediri City.
As reported, the Kediri City Government submitted an approval letter for the release of land for SHP 33 in Balowerti Village covering an area of 3,510 m2 to the developer PT. SK Bangun Persada. However, within the special committee the voice was split open. There are those who try to agree and some who refuse.
When asked about the split votes of the Special Committee members, Mistiani confirmed that there were members of the Special Committee who approved the release and some did not. So that the Special Committee cannot make a unanimous decision. Finally it was agreed that the decision would be submitted to the plenary.
According to Mistiani, based on the documents submitted by the City Government to the Special Committee, there were no corroborating documents as a basis for approving the release of SHP 33. First, the agreement No. 590/1352 / 419.44 / 2014, between the Kediri City Government and PT. SK Bangun Persada, did not mention that SHP 33 was part of the agreement. Second, in the case of the Kediri City Government to PT. Dhoho Nauli, starting from the decision of the District Court (PN) to the Supreme Court (MA), only said that between the City Government and PT Dhoho Nauli there were no problems. In addition, in the lawsuit, PT. SK Bangun Persada is not included as part of the parties. “There is not a single clause that the City Government must submit SHP 33,” said Mistiani.
Meanwhile, on the other hand, the ruilslag process with PT. The Bangun Persada decree also leaves a number of questions that are obstructed by some residents. For example, related to the loss of the Buntung River, which used to stretch from south to north, with a width of about 5 m and a length of about 200 m or a total of about 1000 m2. “In the past, beside the water channel there was a road, pedicabs could pass. Coupled with the area of the water channel. Yes, about 5 m, ”said one resident, who was met around the location.
The loss of the Buntung River, what is its status, is also unclear. Whether there is compensation or not, including whether the land has been replaced or not, there has been a change of function or not is not clear. “If there is nothing, it means Upoyo (PT. SK Bangun Persada, red) can enjoy the land, the waterways and roads for free from the City Government. Not bad, you know, it could be 1000 m2, “added the source.
When I arrived at the post to the location, at the end of the Buntung River to the north of the Persada complex, the stone river plengsengan building was still visible on the left and right. Only, the river is now being covered with soil and planted with papaya trees by local farmers, because the waterway is dead. (mam)
Tinggalkan Balasan