Menelisik Indikasi adanya ‘Mafia Tanah’ di Proyek Jalan Tol (12)
————-
Seperti ‘Api Dalam Sekam’. Mungkin, itu kalimat perumpamaan yang pas untuk menggambarkan indikasi kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ di jalur-jalur proyek Jalan Tol yang akan dibangun Pemerintah. Indikasi dugaan kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ yang potensial merugikan warga pemilik tanah di jalur proyek itu, pertama menyeruak di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Muncul isu bahwa tanah milik sekitar 70 warga, seluas sekitar 18 hektar, sudah berganti menjadi nama orang lain atau sudah terjual ke pihak ke-3. Padahal, warga merasa belum pernah menjual tanahnya. Pernyataan Notaris Eko Sunu Jatmiko SH ke warga, yang mengakui memproses jual beli tanah di lokasi tersebut, tetapi bukan atas nama para warga pemilik tanah atau penggarap, memperkuat isu tengara kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ ini.
—————
KEDIRI – Kasus dugaan kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ yang muncul di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, ada kemungkinan bisa meluas. Khususnya di 6 desa di Kecamatan Banyakan, yaitu Desa Jabon, Desa Ngablak, Desa Maron, Desa Banyakan, Desa Manyaran, dan Desa Tiron.
Di Desa Manyaran misalnya, juga muncul kabar di sebagian warga pemilik tanah, bahwa tanah-tanah mereka sudah terbeli oleh pihak ke-3. Bedanya, sebagian warga pemilik tanah di Desa Manyaran sudah mendapatkan DP atau uang muka untuk pembelian tanah mereka. Sedang di Desa Bakalan, sama sekali tidak ada uang muka dan transaksi apapun.
Para pemburu tanah itu, diduga sekadar mengejar dokumen SPPT PBB dari para pemilik lahan, yang didalamnya tertera data-data lahan. Indikasi itu, antara lain terlihat dari kwitansi yang diberikan ke warga terkesan asal-asalan, ada yang kwitansi biasa atau di atas kertas buku tulis bergaris. Pada kwitansi DP itu, hanya ditandatangani satu orang, yaitu pemilik lahan. Sedang pemberi DP, tidak ada tandatangan.
Kedua, janji untuk melunasi pembelian lahan dalam waktu sekitar 2 minggu sampai 2 bulan, hingga kini juga belum dilunasi dan tidak kejelasan lanjutan untuk memastikan waktu pelunasan. “Ya, memang sempat dengar, katanya tanah itu sudah dijual ke orang lain,”ujar Uki, salah seorang warga Manyaran, saat ditemui di rumahnya.
Meski sempat mendengar isu bahwa lahan mereka sudah terjual ke orang lain, tetapi para warga tidak atau belum sepanik warga Desa Bakalan. Karena mereka tidak mengetahui apakah isu itu benar atau tidak. Juga tidak ada yang menunjukkan bukti bahwa tanah mereka sudah beralih ke nama orang lain.
Uki juga mengakui, bahwa para pemburu lahan di Desa Manyaran, adalah jaringan orang-orang yang sama dengan jaringan para pemburu lahan di Desa Bakalan. Beberapa patok untuk menandai lahan yang seakan sudah terbeli, sampai sekarang juga masih ada. (mam/bersambung)
Tinggalkan Balasan