NGANJUK – Kantor Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Nganjuk, belakangan ini tenggah mendapat perhatian serius dari kalangan penegak hukum. Betapa tidak, sehari setelah kedatangan Tim Sagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi pertanahan tersebut mendapat sorotan tajam dari Kejaksaan setempat.
Informasi didapat, Tim Satgas KPK mendatangi dan menemui beberapa petinggi kantor ATR/BPN Kabupaten Nganjuk, Selasa, (31/1) Siang. Kemudian, sekitar pukul 16.30, WIB, rombongan KPK terlihat keluar dari kantor ATR/ BPN, sambil membawa koper besar dan sejumlah tas ransel yang diduga berisi berkas atau dokumen milik institusi ATR/BPN.
Sehari setelah “diobok-obok” lembaga anti rusuah, Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk menyingung soal program Program Nasional Agraria (Prona) yang selama ini menimbulkan gejolak di kalangan masyarakat. Pasalnya, sejauh ini kantor ATR/BPN dalam melaksanakan program prona atau biasa disebut sertifikasi tanah secara masal itu disinyalir terjadi banyak penyimpangan.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nganjuk, Asis Widarto SH, mengatakan perlu adanya transparansi dari Panitia Prona dan Pemerintah Desa setempat, terkait besaran biaya yang harus ditanggung oleh pemohon Prona. Sehingga, tidak timbul kecurigaan dan masyarakat bisa mengetahui secara gamblang.
“ Panitia Prona harus transparan terkait biaya Prona, agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat,” ujarnya di ruang kerja Kasi Intel Kejari, Rabu (1/2)
Meski pun sebelumnya, disampaikan Kajari Asis lebih lanjut, sudah ada kesepakatan besaran biaya antara panitia dengan pemohon Prona, namun kesepakatan itu belum bisa dikatakan mutlak. Untuk itu, jika ada sisa biaya dari proses penyertifikatan tanah (Prona), maka harus dikembalikan pada pemohon.
“Jadi spsbila ternyata, kebutuhan biaya yang harus ditanggung oleh pemohon, terdapat sisa atau kelebihan biaya, maka biaya yang telah disetor oleh pemohon itu harus dikembalikan oleh panitia ke pemohon,”tuturnya.
Dia juga mengatakan, jika dalam pelaksanaan program prona di masing-masing desa terdapat jumlah biaya berbeda, maka panitia patut untuk membuat kebijakan dengan mengambil biaya terendah sebagai dasar rujukan. Sehingga, kebijakan itu dapat menetralisir timbulnya gejolok di masyarakat.
“Logikanya begini, jika desa ‘A’ itu bisa melaksanakan Prona dengan biaya standar, kenapa desa ‘B’ harus membebani pemohon dengan biaya yang lebih besar, ini yang harus diantisipasi,” paparnya.
Kalau memang harus ada biaya, kata Asis Widarto SH lebih lanjut, yang dibebankan oleh pemohon sertifikasi melalui program prona, dirinya menyarankan sewajarnya dan realistis saja. Artinya, sesuai kebutuhan untuk program prona. “Intinya biaya Prona harus wajar, dan tidak membebani masyarakat,” pungkasnya.
Sayangnya, hingga berita ini ditulis, pihak kantor ATR/ BPN Kab Nganjuk, belum bisa dikonfirmasi. Bahkan, saat wartawan Koran ini hendak menemui Kepala kantor tersebut untuk wawancara perihal kedatangan KPK dan pelaksanaan program prona malah tidak diperbolehkan masuk oleh petugas keamanan setempat.
“ Saat ini, pimpinan kami belum besrsedia ditemui, terutama temen-temen wartawan. Jadi mohon untuk bisa dimengerti, kami hanya menjalankan tugas, “ ungkap petugas keamanan yang menolak identitasnya disebut dalam pemberitaan ini.(wan)
Tinggalkan Balasan