Mouna Sri Wahyuni,S.Si,M,Si
Kasi Statistik Distribusi, BPS Kabupaten Kediri
Setiap 10 November, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan. Momen ini, untuk memperkuat nilai-nilai kepahlawanan, mempertebal rasa cinta tanah air dan meneguhkan semangat pengabdian pada bangsa dan negara. Juga sebagai bentuk penghargaan kepada jasa para pahlawan.
Masa sekarang, memaknai hari pahlawan bukan lagi harus mengangkat senjata di medan perang, tetapi bagaimana menghadapi tantangan yang lebih berat di era digital.
Di zaman digital, penetrasi dan inovasi digital menjadi bagian dari anugerah sekaligus musibah. Narasi kepahlawanan dicatat dengan cara yang berbeda dibandingkan tujuh dekade yang lalu. Gaya hidup digital merupakan fenomena masyarakat milineal. Gaya hidup digital merupakan revolusi gaya hidup (bahkan budaya hidup).
Dengan menggunakan peralatan digital, pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih efisien, efektif, menghemat biaya dan waktu. Para ahli mengatakan, tujuan utama gaya hidup digital adalah optimalisasi produktivitas dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi informasi (perdimanurungstimkpringsewu, 2016). Lapisan generasi muda Indonesia akan memasuki tantangan dunia yang disebut Yuval Noah Harari (2018) sebagai “the age of algorithm”. Dengan percepatan inovasi teknologi, serta tumbuhnya perusahaan raksasa di bidang digital, riset-riset untuk mencipta mesin-mesin canggih yang dilengkapi artificial inteligence (AI) sangat memanjakan dan menguntungkan manusia. Lalu bagaimana memaknai Pahlawan di era digital?
Indonesia kini menghadapi tantangan penetrasi teknologi yang massif. Namun belum dibarengi dengan literasi digital yang signifikan. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana memanfaatkan kreatifitas di bidang teknologi, inovasi media, hingga kecanggihan artificial inteligence (AI) untuk menyebarkan kebaikan yang merata. Jika kita tidak sanggup menghadapi gelombang pasang teknologi, maka bencana menghadang di depan mata dan harus rela ditelan gelombang pasang era algoritma itu sendiri.
Dengan era digital yang tidak bisa tunda lagi, dapat diamati dari bekal pendidikan dan keahlian pekerja Indonesia yang masih jauh dari harapan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis 2018 lalu menunjukkan, daya saing tenaga kerja Indonesia masih rendah. Tingkat pendidikan bagi angkatan kerja masih didominasi pekerja yang mengenyam SD, yaitu 25,21%. Pekerja lulusan SMP sebanyak 18,08%, SMA 18,01%, SMK 11,03%, Diploma 2,78%, dan universitas 9,40%.
Sangatlah miris jika melihat tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia. BPS juga mencatat, tingkat pengangguran terbuka 2018 sebesar 5,34 persen atau sekitar 7 juta-an orang dari 131 juta-an penduduk yang masuk pada angkatan kerja.
Dengan pengguna internet yang luas, baik secara geografis maupun batasan umur, memungkinkan Indonesia sebagai raksasa di bidang ekonomi digital. Presiden Joko Widodo berulang kali menyampaikan betapa Indonesia sangat berpeluang sebagai raksasa Asia Tenggara dalam kontestasi ekonomi digital. Dengan pengguna internet yang masif dan terus tumbuh, Indonesia menjadi lahan subur untuk menguji ide-ide kreatif yang dieksekusi dalam persaingan bisnis era digital.
Pemerintah Indonesia telah mendorong tumbuhnya pebisnis-pebisnis muda yang bergerak kreatif yang memulai merintis usaha berbasis digital maupun internet. Kebijakan 1000 pebisnis digital (start-up) pada 2020 juga menjadi bagian untuk mendorong generasi muda berani mengeksekusi ide-ide kreatifnya.
Apalagi, telah tumbuh beberapa perusahaan perintis yang berstatus ‘unicorn‘, yang memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 13,1 triliun). Di Indonesia sendiri, telah memiliki 4 perintis unicorn startup yang mulai dilirik para investor asing dengan valuasi di atas 1 miliar dolar Amerika (Rp 13,8 triliun) di antaranya yaitu Tokopedia dengan valuasi Rp 50 triliun, Gojek dengan valuasi Rp 40 triliun, Traveloka dengan valuasi Rp 26 triliun serta Bukalapak dengan valuasi Rp 15 triliun.
Ini membuktikan ide-ide kreatif yang digarap serius, mampu menjawab tantangan di bidang transportasi dan perdagangan Indonesia. Perusahaan-perusahan ini dapat tumbuh sebagai perusahaan-perusahaan dengan visi dan wajah generasi milenial negeri ini. Hal ini juga menunjukkan betapa Indonesia tidak hanya pasar digital, namun juga sebagai laboratorium digital yang memungkinkan ide-ide kreatif tumbuh dalam ekosistem yang dinamis.
Maka memaknai kepahlawanan di era digital ini harus dapat dipahami oleh seluruh elemen masyarakat sebagai suatu kemajuan cara berpikir, berucap dan bertindak dalam bentuk lain yang dilakukan oleh para pahlawan yang terdahulu. Pahlawan-pahlawan milenial haruslah tampil untuk menjadikan bangsa Indonesia tidak sebagai pasar digital, namun sebagai pemain aktif dalam kontestasi digital masa kini.
Selamat Hari Pahlawan
Tinggalkan Balasan