Menelisik Indikasi adanya ‘Mafia Tanah’ di Proyek Jalan Tol (16)
————-
Seperti ‘Api Dalam Sekam’. Mungkin, itu kalimat perumpamaan yang pas untuk menggambarkan indikasi kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ di jalur-jalur proyek Jalan Tol yang akan dibangun Pemerintah. Indikasi dugaan kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ yang potensial merugikan warga pemilik tanah di jalur proyek itu, pertama menyeruak di Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Muncul isu bahwa tanah milik sekitar 70 warga, seluas sekitar 18 hektar, sudah berganti menjadi nama orang lain atau sudah terjual ke pihak ke-3. Padahal, warga merasa belum pernah menjual tanahnya. Pernyataan Notaris Eko Sunu Jatmiko SH ke warga, yang mengakui memproses jual beli tanah di lokasi tersebut, tetapi bukan atas nama para warga pemilik tanah atau penggarap, memperkuat isu tengara kemungkinan adanya ‘Mafia Tanah’ ini.
—————
Sudah Muncul Dokumen Pelepasan Hak dan Kuasa Jual?
KEDIRI – Pernyataan notaris Eko Sunu Jatmiko SH, yang siap membatalkan Perjanjian Ikatan Jual Beli (P I J B) puluhan lahan milik para petani Desa Bakalan, Kecamatan Grogol, sangat dimungkinkan hanya akan menjadi pepesan kosong. Sebab, notaris tidak bisa serta merta membatalkan perjanjian yang sudah dibuatnya. Karena tugas noraris adalah membuat akta otentik.
Selain itu, dokumen notariat terkait lahan yang diduga terjual secara ‘misterius’ atau tanpa sepengetahuan pemilik asli itu, terindikasi yang sudah terbit ditengarai bukan hanya P I J B, tapi dokumen Pelepasan, dan dokumen Kuasa Untuk Jual (KUJ) juga sudah terbit. Sehingga secara umum, dokumen perpindahan nama pemilik lahan, dari pemilik asli ke pemilik baru, sudah lengkap dan bisa dianggap sah. Indikator itu, setidaknya terlihat dari list data-data pemilik lahan baru, yang diterima Kediri post.
Heriyanto SH, praktisi hukum di Kediri, menjelaskan yang bisa membatalkan perjanjian adalah para pihak yang melakukan perjanjian, yaitu penjual dan pembeli. Kalau penjual dan pembeli sepakat dibatalkan, maka bisa dibatalkan. Kalau tidak sepakat, tidak bisa serta merta dibatalkan. Kedua, dilakukan gugatan melalui pengadilan. “Notaris itu hanya mencatat atau membuat dokumen otentik. Itu tugas utamanya. Kalau ternyata dokumen yang masuk ke notaris adalah palsu atau dipaslukan atau asli tapi palsu, urusannya dengan persoalan pemalsuan. Jadi beda masalah,”ujarnya.
Agak berbeda jika lahan itu sudah bersertifikat. Heriyanto menjelaskan, ada 3 cara untuk membatalkan sertifikat, yaitu permintaan Pembatalan ke Menteri / Kepala BPN, yang diatur dalam Peraturan Menteri No. 9 tahun 1999. Kedua, gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Karena sertifikat tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara ( KTUN), sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ketiga, gugatan perdata di Pengadilan Negeri. “Catatannya, dalam mengajukan gugatan perdata, perlu diperhatikan adanya kadaluwarsa, yaitu 5 tahun. Jika sertifikat sudah terbit lebih dari 5 tahun, berarti sudah kedaluwarsa untuk digugat,”tandasnya.
Berkaitan dengan kasus jual beli lahan di Desa Bakalan dan sekitarnya, Heriyanto meyakini adanya dokumen palsu atau dipalsukan atau asli tapi palsu atau dokumen hasil rekayasa dalam proses pengumpulan dokumen, sehingga notaris berani mengeluarkan dokumen P I J B, Pelepasan, dan Kuasa Untuk Jual (K U J). “Kalau tidak diurus sejak sekarang, saya yakin di belakang hari akan ada masalah hukum dan sosial yang tidak diduga oleh warga. Konflik bisa akan terjadi,”tambah Heriyanto. (mam/ bersambung)
Tinggalkan Balasan