Korban Koperasi Lanceng, Geruduk Polres Kediri Kota (7)
KEDIRI- Usaha para korban Koperasi Niaga Mandiri Sejahtera Indonesia (NMSI) agar uang mereka bisa kembali, tampaknya akan semakin rumit dan berliku. Sebab, sejatinya Koperasi NMSI sudah diputus pailit oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, pada 20 Maret 2021 lalu, atau sekitar 3 bulan setelah kasus dugaan penggelapan uang anggota Rp 5 miliar oleh ketuanya, Criantian Anton Hadrianto alias Anton.
Berdasarkan data di PN Surabaya, putusan pailit itu atas permohonan 4 orang, antara Istu Dewi Wulansari, Iswanto, Mulyadi, dan Suharyani. Permohonan kepailitan itu untuk termohon Christian Anton Hadrianto dam Koperasi NMSI, pada sidang permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Majelis hakim memberikan waktu sementara termohon selama 45 hari. Kini, waktu 45 hari itu sudah jauh terlewati.
Jika para korban ingin meminta uangnya kembali, mereka harus berhubungan dengan Kurator yang ditunjuk, yaitu Toni SH, dari Infinitum Law Office, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebab, PN Surabaya menunjuk dan mengangkat Toni SH sebagai kurator pada permohonan kepailitan itu.
Dengan adanya putusan pailit dan lewatnya rentang waktu 45 hari yang ditentukan, maka asset koperasi NMSI dalam penguasaan dan pengelolaan penuh curator. Aset koperasi yang terdata itulah yang akan dibagi ke anggota, yang memiliki piutang atau uang di koperasi.
Berdasarkan UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, setelah adanya putusan pailit, maka urusan penguasaan dan pengelolaan harta debitur dilakukan oleh curator, yang akan digunakan untuk mengembalikan tanggungan utang ke kreditor.
Kediri post yang berupaya untuk konfirmasi ke Toni SH, curator dari Infinitum law office di Jakarta, melalui komunikasi surat elektronik, asset apa saja milik debitur atau Cristian Anton Hadrianto dan Koperasi NMSI, sampai berita ini diunggah, belum ada tanggapan.
Sementara itu, Danan Prabandaru SH, praktisi hukum di Kediri, menjelaskan persoalan pailit adalah persoalan sisi perdatanya. Memang secara umum bagi para korban lebih repot, karena ada kemungkinan sudah adanya pengalihan asset koperasi ke pribadi-pribadi pihak terkait. Aliran dana ini yan g harus ditelusuri serius. “Apalagi kuratornya di Jakarta, bagaimana para korban berkomunikasi dengan kurator? untuk mengetahui asset apa saja yang sudah dikuasai curator? Itu akan bisa menyulitkan kalau curator tidak open dan pro aktif dengan para korban,”ujarnya.
Meski sudah ada putusan pailit, lanjut Danan, sisi pidananya, yaitu dugaan penggelapan, penipuan, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan kemungkinan ada pidana khusus lain yang dilanggar, tetap bisa dijalankan atau diproses. “Penilaian saya, kasus ini bukan pencurian, tapi bisa dugaan penggelapan, penipuan, TPPU, dan atau tindak pidana khusus yang lain. Karena uang para anggota berada di kantor koperasi, lalu dibawa lari oleh pengurus. Kalau uang itu di rumah para korban, kemudian diambil orang, itu pencurian. Jadi, para korban masih bisa melaporkan pidana penggelapan, penipuan, atau TPPU ke polisi,”tandasnya. (mam/bersambung)
Tinggalkan Balasan