KEDIRI – Persidangan kasus dugaan korupsi proyek Jembatan Brawijaya yang berkepanjangan, hingga bertahun-tahun hingga pemeriksaan saksi di persidangan berulang-ulang, tampkanya membuat para saksi merasa lelah, capek, hingga terkesan malas menjawab. Maklum, satu saksi bisa dihadapkan di persidangan berkali-kali. Setiap berganti terdakwa, saksi bisa dipanggil lagi. Jika ada saksi lain yang keterangannya berbeda, bisa dipanggil lagi untuk konfrontir, bisa juga dipanggil lagi agar membawa bukti dokumen atas keterangannya, jika apada sidang itu tidak membawa bukti dokumen seperti yang dia terangkan.
Seperti yang dirasakan Kasenan, mantan Kepala Dinas PU Kota Kediri, yang kini sudah menjadi narapidana. Saat menjadi saksi di persidangan pengadilan Tipikor Surabaya, melalui online, Kamis (1/7/2021), Kasenan terkesan malas-malasan menjawab dan sering menjawab dengan nada ketus. “Iya buuuu….,”kata Kasenan, saat ditanya oleh Ribut Suprihatin SH, salah satu Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Berkali-kali Kasenan menjawab dengan jawaban pendek, ‘Iya’ ‘tidak tahu’ ‘lupa’ atau lama diam tidak menjawab. Saat ditanya, mengapa Kasenan menjadi narapidana? Kasenan menjawab. “Ah… nggak tahu lah. Mengapa saya salah,”jawabnya.
Tampaknya, Kasenan merasa malas menjawab karena sudah berkali-kali menjadi saksi di persidangan dan ditanya dengan pertanyaan serupa, yang sudah pernah dia jawab pada persidangan sebelumnya. “Saya sudah lima kali di sini (Jadi saksi,red). Sudah,”kata Kasenan dengan nada bicara agak tinggi, seakan ingin mengungkap kekesalannya karena berkal-kali memberi keterangan sebagai saksi.
Sementara itu, Nugroho, konsultan perencana yang menjadi saksi di persidangaan, dinilai plin plan oleh majelis hakim, karena keterangannya dinilai tidak konsisten. Awalnya, Nugroho bersikukuh mengaku Enginering Estimation atau EE yang dia buat untuk proyek jembatan Brawijaya adalah Rp 50 Miliar. Dia tidak pernah membuat EE Rp 70 miliar. Namun, ketika JPU Aslan SH menunjukkan bukti bahwa Nugroho pernah membuat EE Rp 70 miliar, dia baru mengakui.
Begitu juga ketika Eko Budiono SH, Penasehat Hukum (PH) terdakwa manta Walikota dr. Samsul Ashar menyebut bahwa Nugroho pernah membuat dokumen EE Rp 70 miliar tanpa ditandatangani direktur PT. Geoplano, tempat dia bekerja, karena EE itu dia buat di luar kantor, bukan di kantor Geoplano. Mendengar pernyatan Eko Budiono SH itu, Nugroho juga membenarkan. “Ya,”katanya.
Nugroho menyebut, ada perbedaan antara EE Rp 50 miliar dengan EE Rp 70 miliar. Pada perencanaan EE Rp 50 miliar, jembatan Brawijaya dirancang ada 2 jalur dan 1 lajur. Sedangkan pada perencanaan EE Rp 70 miliar, jembatan Brawijaya dirancang ada 2 jalur dan 2 lajur, seperti yang sekarang sudah jadi. “Karena ada permintaan,”ujar Nugroho, saat ditanya mengapa dia juga membuat EE Rp 70 miliar. (mam)
Tinggalkan Balasan